“Selamat ulang tahun yang
ke 40 ! untuk umi ku yang tercinta ! Dhina bikin cerita ini, buat hadiah ulang
tahunnya umi. Umi baca ceritanya ya !”
Kekurangan Bukan Penghalang Untuk Terus
Bersahabat
Aku tersenyum-senyum sambil memandang buku yang
kupegang. Buku ini adalah buku yang istimewa bagiku. Di buku ini, tempat aku
dan sahabatku menggambar, menulis cerita, membuat komik, membuat puisi, ataupun
curhat. Keren kan ? yaa ... mungkin kedengarannya nggak sekeren perasaanku yang
menganggap buku ini keren.
“Hei,
lagi ngapain ?” tanya seseorang dengan ramah. Aku kira itu Rifa, sahabatku.
Ternyata bukan. Dia ... Verna ! orang yang membenciku. Meskipun demikian, aku
tetap menganggapnya sebagai temanku. “Oh ... lagi sama buku istimewa ya ?
sahabat kamu mana ? si Rifa itu ? katanya sahabat. Kok kaya gini sih ? sini
bukunya !” kata Verna sambil merebut buku itu dariku. Aku memegang buku itu
dengan erat. Aku tak rela buku ini ada di tangannya. “Sini !” teriak Verna
sambil terus merebut buku itu. Tapi kekuatanku tidak cukup untuk melawannya.
Akhirnya buku itu berada di tangannya. “Dasar pelit ! pantesan aja sahabat kamu
dari dulu Cuma satu ! dan sahabat kamu Rifa aja dari dulu. Aku yakin Rifa itu
sebenarnya nggak mau sahabatan sama kamu. Dia nggak tahan sama kamu. Tapi
karena dia kasihan aja sama kamu, jadi dia masih sahabatan sama kamu sampe
sekarang,” kata Verna. Kata-kata Verna membuatku sedih. Tapi aku yakin yang
dikatakan Verna itu tidak sepenuhnya benar. “Buku ? apa sih istimewanya buku
ini ? kalau buku ini sudah ada di tanganku, hah ! kayaknya buku ini nggak bakal
berarti lagi buat kamu !” kata Verna. Verna menjatuhkan buku tersebut ke tanah
dan menginjaknya. “Verna ! tolong jangan lakukan itu,” kataku sedih. “Kamu kira
aku akan merasa kasihan melihatmu memelas seperti ini ? tidak akan ! dasar anak
...” “Cukup !” kata Rifa yang tiba-tiba datang. Verna diam sambil menatap Rifa.
“Beraninya kamu melakukan itu kepada Sarti ! Kamu sadar nggak sih ? apa yang
telah kamu lakukan ?! dia itu anak yatim !” kata Rifa membelaku. Verna
menatapku dengan sinis. Lalu berkata, “Dengar ya ! apa untungnya sih bagi kamu
kalau aku berbuat baik kepada Sarti ?! yang jahat aku ini bukan kamu !” balas
Verna, lalu pergi. Rifa mengusap-usap pundakku dengan kasih sayang yang tulus
sebagai sahabat. “Rifa ... maafkan aku. Aku tidak menjaga buku itu dengan
baik,” kataku menyesal. “Nggak apa-apa kok, Sarti. Aku tahu kamu nggak salah.
Buku kita yang sekarang rusak, bukan berarti karena kamu tidak menjaganya
dengan baik. Aku yakin kamu sudah berusaha menjaganya dengan baik. Sifat
sabarmu dalam menghadapi kejahatan Verna jangan sampai hilang. Sifat sabar dan
baik hati yang ada pada dirimu terkadang bisa membuat orang lain sadar atas
kelakuannya. Dan setiap kata-kata yang kamu ucapkan pasti enak didengar. Aku
senang punya sahabat sepertimu,” kata Rifa. “Terimakasih Rifa,” kataku. Rifa
mengangguk sambil tersenyum.
Keesokan harinya ...
“Sarti, kita ke taman yuk !” ajak Rifa. “Mau
ngapain ?” tanyaku. “Duduk-duduk sambil makan es krim. Aku traktir es krim deh
! gimana ? mau ?” tawar Rifa. “Oke deh. Terimakasih ya !” jawabku. Kami berdua
berjalan menuju taman. Di sekitar taman yang sering kami kunjungi, sering ada
pedangang makanan dan minuman. Ada batagor, es krim, es doger, cilok, es cincau, rujak, agar-agar, surabi,
cimol, sate, dan masih banyak lagi. “Mas, beli es krimnya dua. Yang seribuan,”
kata Rifa kepada penjual es krim. Penjual tersebut memberikan es krim pesanan
Rifa. Rifa memberikan selembar uang dua ribu. “Nih, es krimnya,” kata Rifa.
“Terimakasih,” kataku sambil menerima es krim dari Rifa. “Sama-sama,” jawab Rifa.
“Duduk di mana ya ?” tanya Rifa. Hari ini taman sangat ramai. Sehingga kursi banyak
yang ditempati oleh para pengunjung. Di taman ini juga sering dikunjungi.
Karena di sini sangat indah dan banyak pohon. Di sini ada air mancur dan
mainan-mainannya. Seperti perosotam, ayunan, dan masih banyak lagi. “Di situ
aja !” kataku sambil menunjuk sebuah batu yang besar. Kami berjalan menuju batu
itu dan duduk diatasnya. “Rifa, Sarti,” panggil seseorang. “Verna ?” tanyaku.
“Ada apa Verna ?” tanya Rifa. “Aku mau minta maaf sama kalian. Aku selalu jahat
sama kalian. Apalagi sama Sarti, anak yatim. Aku mau berubah kayak kalian. Aku
mau jadi sabar, baik hati, saling menyayangi, lemah lembut, dan mau berteman
dengan siapa saja. Jadi, kalian punya banyak teman yang juga menyayangi kalian.
Aku mau jadi orang yang sabar seperti Sarti. Bolehkah aku berteman dengan
kalian ? “ pinta Verna. Aku kaget mendengar Verna mengatakan itu semua. Apa
yang membuat Verna mengatakan itu ? tapi aku senang mendengarnya. “Bagus kamu
mau berubah,” kata Rifa. “Tentu saja boleh ! dari dulu dan selamanya, kamu akan
selalu menjadi teman kami. Bahkan kalau kamu mau menjadi sahabat kami juga
boleh !” jawabku. Senyum Verna mengembang. Kami bertiga berpelukan.
“Alhamdulillah ... terimakasih ya Allah ...,” kataku. Aku mencolekkan es krimku
ke pipi Verna. “Apa ini ?” tanya Verna sambil mencolek es krim yang ada di
pipinya. Lalu dia menjilatnya. “Es krim ! bagi dong !” pinta Verna. “Boleh,” kataku.
Verna menjilat es krimku. Tidak ! Verna menggigitnya ! Verna memakan es krim
itu dengan rasa dingin di mulutnya. Aku dan Rifa tertawa kecil melihatnya.
“Gigiku dingin. Ngilu,” kata Verna. Semoga ikatan persahabatan kita kekal
hingga ke jannah ... Oh hei ! teman-teman merasa pernah membaca kalimat tadi ya
? “Semoga ikatan persahabatan kita kekal hingga ke jannah” pastinya dong ! aku
kan nyontek dari tulisan umiku. “Nak, suratmu indah ... moga ikatan kalian
kekal hingga ke jannah” bagus kan ?
coba teman-teman cari di Goresan Dhina. Ada tulisan judulnya Surat Buat Njun.
Lihat di paling bawahnya. Pasti ada tulisan itu kan ?
Di pagi hari yang cerah, sebelum berangkat
sekolah aku menulis di diaryku yang berwarna biru muda. Aku sudah mandi dan
sarapan. Dan yang pasti, sudah sholat subuh. Kertas di buku diaryku
berwarna-warni. Ada warna biru, merah, oren, ungu, dan hijau. Aku menulis di
kertas yang berwarna biru. Aku sangat suka warna biru. Tinta pulpen yang
kupakai untuk menulis juga warna biru. Aku menulis ini :
Bismillahirrohmanirrohim
Aku senaaang sekali ! kemarin, aku dan Rifa
pergi ke taman. Kami membeli es krim. Aku ditarktir satu es krim sama Rifa.
Terus kita makan es krim sambil duduk di batu yang besar. Tak kusangka,
tiba-tiba Verna datang. Verna meminta maaf kepadaku dan Rifa. Verna juga minta
berteman dengan kami. Tapi sekarang kita bertiga bersahabat. Bukan sekadar
teman. Pokoknya aku seneng banget deh ! udah dulu ya diary, aku mau berangkat
sekolah dulu. Kalau aku telat, nanti dihukum. Aku juga mau bertemu dengan kedua
sahabatku. Bye diary !
Aku menutup buku diaryku dan menyimpannya di
rak buku. Aku juga menaruh pulpenku di tempat pulpen. Aku mengambil tasku dan
menghampiri ibuku. “Bu, aku sekolah dulu ya. Assalamu’alaikum,’ kataku sambil
mencium tangan ibuku. “Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan ya !” jawab ibu.
“Iya,” jawabku. Di perjalanan ke sekolah, aku merasa ada yang aneh. Aku merasa
ada yang mengikutiku dari belakang. Berkali-kali aku menoleh ke belakang, tapi
aku tidak melihat siapa pun yang kurasa sedang mengikutiku. Aku berlari karena
ketakutan.
“Assalamu’alaikum,”
kataku ketika memasuki kelas. “Wa’alaikumsalam,” jawab murid di kelasku. Aku
masuk kelas dan menaruh tasku di kursi yang kosong. “Huuh, lega,” kataku.
Kemudian Rifa dan Verna datang dengan terengah-engah. Seperti habis lari-lari.
“Lari pagi ? jangan lari kaya gitu dong. Larinya pelan. Kan, namanya lari
pagi,” kata Wilda. Wilda memang suka begitu. Tapi dia tidak bermaksud mengejek
atau menghina. Dia juga anak yang lucu dan baik. “Assalamu’alaikum,” kata Rifa
dan Verna. “Wa’alaikumsalam,” jawab kami yang ada di kelas. Mereka berdua masuk
kelas dan duduk di bangku yang bersebelahan. Sebelum aku bertanya, Rifa
memandangku dengan kesal. Begitu juga dengan Verna. “Kalian kenapa ?” tanyaku
lembut. Mereka memalingkan wajah mereka dariku. Aku sedih diperlakukan seperti
ini. Aku jadi merasa bersalah. Tapi aku tidak mau mereka mengira aku sedih.
Jadi aku tidak menangis. Beberapa menit kemudian bel berbunyi. Menandakan
waktunya masuk kelas. Setiap pagi, kami selalu membaca Al-Matsurot sughro
bersama-sama. Dilanjutkan dengan tilawah juz 30. Lalu berdo’a sebelum belajar.
Baru deh, belajar.
Istirahat
pun tiba. Aku senang karena sudah paham apa yang diterangkan oleh bu Nur saat
belajar Matematika tadi. Aku memasukkan buku matematikaku dan menghampiri kedua
sahabatku. “Ke kantin yuk !” ajakku sambil tersenyum ramah. “Nggak usah.
Makasih,” jawab Rifa ketus dan tidak memandangku. “Kenapa ?” tanyaku. “Ke
kantin sendiri bisa kan ?!” bentak Verna. Aku kaget sekali. Jantungku berdetak
lebih cepat. Air mataku mengalir. “Nggak berdiri di sini, bisa ?” kata Verna.
Aku berjalan keluar kelas sambil memandang sahabat-sahabatku. Aku berjalan ke
lapangan rumput yang berada di sekolahku. Di lapangan rumput ini sangat sejuk
dan sepi. “Apa yang terjadi dengan mereka ?! mengapa mereka mengatakan itu kepadaku ? apa
salahku ?” batinku.
Saat itu juga kakiku terasa lemas dan aku terjatuh. Air mataku yang semakin
deras keluar dan jatuh di rumput-rumput hijau. Angin berhembus, mengibarkan
jilbab putihku. Aku terus duduk sambil menangis. Ketika bel berdering, aku
segera berlari menuju kelas. Sesampainya di kelas, aku langsung duduk di
kursiku. “Mana Rifa dan Verna ?” tanyaku dalam hati. Sampai guru datang mereka
juga belum datang. Aku mulai khawatir. Di tengah pelajaran, mereka berdua
datang. Mereka dihukum berdiri di luar kelas sampai pelajaran berakhir. Verna
melemparkan sebuah kertas kepadaku. Aku membacanya. “Pulang sekolah nanti, aku
dan Rifa mau bicara sama kamu” Aku menyimpan kertas tersebut di dalam tasku.
Hari ini kelasku pulang lebih awal. Karena para guru mau rapat. Aku teringat
kembali tentang surat yang diberikan oleh Verna. Aku menemui Verna dan Rifa
yang ada di depan kelas. Verna dan Rifa langusng menggandeng tanganku ke suatu
tempat. Mereka mengantarku ke depan kelas 7-2. Para murid kelas 7-2 sudah
pulang. Jadi tempat itu sepi. Hanya ada kami bertiga. Rifa langsung angkat
bicara. “Kamu tahu nggak sih ?! tadi pagi itu kita nyariin kamu. Kata ibumu,
kamu sudah duluan berangkat ke sekolah. Kok kamu nggak nungguin aku sih ?!
biasanya kan kita berangkat ke sekolah bersama-sama,” kata Rifa. “Dan kamu tahu
? sebenarnya kita mau kasih kejutan buat kamu. Tadi malam aku baru pindahan ke
rumah yang tepat bersebelahan dengan rumah Rifa. Jadi kita bisa berangkat
bareng-bareng. Dan aku berharap, kamu akan senang melihat aku dan Rifa
berangkat ke sekolah bersamamu. Jadi kita kejar kamu. Tapi kamu sudah terlalu
jauh. Ditambah, kamu malah lari. Jelas kita ketinggalan dan kita jadi capek
pagi-pagi karena lari-lari. Waktu istirahat juga, kita sebenarnya mau minta
maaf sama kamu. Tapi kita cari-cariin kamunya nggak ada. Ternyata ada di kelas.
Kamu tega banget sih, sama kita ! kenapa kamu lakuin itu ?!” bentak Verna
sambil mendorongku sampai aku terjatuh. Aku menangis. “Verna, sudah. Jangan
terlalu keras padanya. Dia tetap sahabat kita,” kata Rifa pelan. “Sarti, kalau
kamu mengulangi ini lagi. Lebih baik kita semua putus sahabat !” kata Verna.
Aku tetap duduk dan menangis. Aku memang lemah. Aku mudah menangis. “Sudahlah.
Jangan teriak-teriak. Nanti ada yang dengar. Intinya gini, Sarti. Kita kesal
sama kamu. Kita menganggap kamu sudah tidak peduli lagi dengan kita,” kata
Rifa. Lalu mereka berdua pergi meninggalkanku sendirian. Aku mengusap air
mataku. Aku berdiri dan berjalan pulang. Di jalan aku bertanya-tanya. “Jadi
tadi pagi yang mengikutiku itu mereka ? tapi kenapa setiap aku menoleh ke
belakang aku tidak melihat mereka ? atau, kenapa mereka tidak panggil saja aku
ketika mereka mengejarku ? mungkin karena aku sudah terlalu jauh. Jadi aku
tidak melihat mereka,” kataku dalam hati.
Tadi
malam aku sulit sekali untuk tidur. Aku terus memikirkan kedua sahabatku dan
terus menangis. Hari ini aku berangkat ke sekolah seperti kemarin. Sendiri.
Hanya, aku tidak lagi merasa ada yang mengikutiku. Sampainya di sekolah, aku
mengucapkan salam ketika memasuki kelas dan menaruh tasku di kursi yang
kemarin. Aku melihat Verna dan Rifa sedang mengobrol di kursi mereka. Di tempat
duduk yang kemarin. Mereka tidak mempedulikan kehadiranku. “Apakah mereka masih
marah kepadaku ? segitukah marahnya mereka kepadaku ?” tanyaku dalam hati
sambil memandangi mereka. “Apa liat-liat ?” tanya Verna. “Gitu amat sama
sahabatnya sendri,” kata Wilda yang sedang duduk di kursinya. “Darimana kamu
tahu Sarti sahabatku ?” tanya Verna. Wilda bangkit dari kursinya dan menjawab,
“Aku tahu kamu, Sarti, dan Rifa bersahabat. Aku melihat semua kejadiannya. Em,
tidak semuanya sih. Tapi aku tahu masalahnya. Aku lihat saat kemarin pulang
sekolah kalian ngapain. Juga saat istirahat kemarin,” jawab Wilda. “Katakan apa
yang kamu lihat kemarin !” bentak Rifa. “Nggak. Aku nggak mau jawab. Kalian
harus tahu sendiri. Kalian bertiga ini bersahabat. Seharusnya kalian tahu apa
yang harus kalian lakukan,” jawab Wilda. Kami semua terdiam. Wilda kembali
duduk di kursinya.
Istirahat
tiba. Aku mengajak kedua sahabatku untuk pergi ke kantin bersama-sama. Tapi
mereka menolak. Bahkan mereka mengejekku sebagai “Kukus” artinya KUrus dan
raKUS. Aku sedih sekali mendengarnya. Jadi, aku memutuskan untuk pergi ke
lapangan rumput lagi. Aku duduk sendirian di lapangan itu. “Sarti,” panggil
Wilda dengan suara pelan. Aku menoleh ke belakang. Wilda menghampiriku dan
duduk di sampingku. “Kamu ngapain di sini ?” tanya Wilda. “Duduk-duduk aja.
Lagian, di sini sejuk,” jawabku. “Kamu lagi sedih ya ?” tanya Wilda. “Iya,”
jawabku. “Kamu tenang aja. Aku mau kok nemenin kamu,” kata Wilda. Aku tersenyum
kepadanya. “Sarti ? mata kamu kenapa ?” tanya Wilda. “Nggak apa-apa kok,”
jawabku. “Sar, jangan bohong. Kamu habis nangis ya ?” tanya Wilda. “Iya, tadi
malam aku susah tidur. Aku menangis dan memikirkan kedua sahabatku,” jawabku.
“Kamu ini memang mudah sedih. Tapi aku juga akan sedih jika aku jadi kamu. Tapi
nggak segitunya,” kata Wilda. Aku diam sambil memandang langit. “Aku bawa kue
nastar lho ! cobain deh !” tawar Wilda. “Makasih,” kataku. “Sama-sama. Kita
makan berdua. Jadi, kalo mau lagi, ambil aja,” kata Wilda. Setelah lama kami
mengobrol di lapangan rumput, kami kembali ke kelas.
Ketika
pulang sekolah, Verna dan Rifa mengajakku lagi ke depan kelas 7-2. “Kalian
masih marah ya ? sama aku,” tanyaku. “Awalnya sih, enggak. Tapi kamu selalu
bikin masalah ketika aku dan Rifa sudah nggak marah sama kamu. Yaa, jadinya
marah lagi deh sama kamu,” jawab Verna. “Memangnya, aku bikin masalah apa ?”
tanyaku bingung. “Lucu deh ! kamu nggak tau apa salah kamu ? kalo kamu mau
sahabatan sama Wilda ya nggak apa-apa. Jadi, kamu sahabatan sama Wilda, dan
persahabatan kita bertiga putus,” kata Rifa. Aku menunduk. “Oke, persahabatan
kita berakhir sampai di sini. Menyedihkan sekali ya, persahabatan kita hancur
hanya karena masalah sepele kayak gini,” kata Verna. “Kalau ini hanya masalah
sepele, kenapa kalian mau persahabatan kita putus ?” tanyaku. “Hei, Kukus !
ternyata kamu sudah berani ngelawan ya ?” kata Verna. “Aku Cuma nanya, kok,”
kataku. “Tapi, Kukus. Peraturan tetap peraturan ! sekarang, kita tidak boleh
dekat-dekat bagaikan sahabat. Kita harus saling bersikap biasa seperti saat
pertama kali kita bertiga bertemu. Artinya, TIDAK KENAL !” kata Rifa. “Tapi
persahabatan itu indah. Dan berarti kalian harus berhenti memanggilku KUKUS,”
kataku tidak setuju. “Indah apanya persahabatan kita ? bersahabat dengan kalian
berdua sangat tidak menyenangkan. Lebih baik aku cari sahabat baru,” kata
Verna. “Aku juga akan mencari sahabat baru,” kata Rifa. Lalu kami semua pulang.
Aku pulang duluan. Rifa pulang bersamaku. Tapi kami tidak mengobrol. Kalau
Verna, dia main ke rumah Cerli. Di perjalanan aku terus mengingat kenanganku
bersama Rifa. Tidak pernah kita pulang sekolah seperti ini. “Sarti ...” panggil
Rifa. “Iya ?” tanyaku. “Aku ingin kita seperti dulu,” kata Rifa. “Aku juga,”
balasku. “Tapi aku merasa kamu berubah,” kata Rifa. “Aku merasa sekarang kamu
menjadi lebih suka menyendiri. Maka dari itu, aku nggak mau lagi bersahabat
denganmu. Maafkan aku Sarti,” lanjutnya. “Iya, nggak apa-apa. Kita awali
persahabatan kita dengan baik-baik. Maka kita putus sahabat juga dengan
baik-baik,” jawabku. “Benarkah aku jadi lebih suka menyendiri ?” tanyaku dalam
hati.
Keesokan
harinya, di sekolah pada jam istirahat. Aku melihat Verna sedang bermain
bersama Cerli, Jenis, dan Farya. Sedangkan Rifa sedang membaca buku di
perpustakaan. Aku menghampiri Rifa. “Baca buku bareng yuk ! seperti dulu,”
ajakku. “Nggak, ah. Aku sedang menenangkan diriku dari kejadian kemarin. Jadi,
jangan ganggu aku dan jangan ingatkan aku lagi tentang masa lalu kita. Karena
kemarin aku bicara baik-baik sama kamu, bukan berarti aku mau sahabatan sama
kamu lagi. Kamu ingat persetujuan kita kemarin kan ? kita putus sahabat dan
berarti sekarang kita bukan sahabat lagi,” jawabnya ketus. “Ya, aku tau. Tapi
aku mengajakmu baca buku bersama, kan bukan berarti aku menganggapmu jadi
sahabatku. Lagipula kamu yang bilang sendiri, kamu ingin seperti dulu. Saat
kita masih bersahabat,” kataku. “Kamu aneh, Sarti. Kamu benar-benar berubah,”
kata Rifa. “Perubahan apa ?” tanyaku. “Kamu jadi berani. Dulu kamu itu pendiam,
sabar, dan lemah lembut. Beda dengan sekarang,” jawab Rifa. Lalu Rifa kembali
membaca buku. Aku pergi ke kelas. “Sarti, jangan sedih. Aku jadi ikut sedih,”
kata Wilda. Kata-kata itu ?! itu adalah kata-kata yang sering diucapkan oleh
Rifa. Aku tersenyum kepada Wilda. “Kalo kamu mau cerita sama aku, cerita aja.
Aku siap mendengarkan,” kata Wilda. “Rifa bilang, aku jadi berubah. Aku jadi
lebih berani. Tapi dia tidak menjelaskan secara utuh. Apakah kamu pikir
perubahan itu baik ?” tanyaku. “Aku nggak tahu. Tergantung, berani apa. Kalau
berani mengatakan yang benar atau jujur, pasti itu perbuatan yang baik. Kalau
berubah jadi berani berbicara yang tidak sopan, kasar, yaa kalo itu jelas
perbuatan yang tidak baik. Kalau yang dia bilang, kamu berubah jadi berani apa
?” tanya Wilda. “Kalau menurutmu aku jadi berubah nggak ?” tanyaku. “Nggak.
Tapi, mungkin sedikit sih. Karena kamu sering sedih. Mungkin gara-gara itu Rifa
menganggapmu jadi berubah,” jawab Wilda. Tanpa kusadari, dari awal aku
mengobrol dengan Wilda, ternyata Rifa mendengarkan pembicaraan kami. “Sarti ?!”
kata Rifa. Aku dan Wilda kaget dengan kehadiran Rifa. “Kamu ini menjengkelkan
!” kata Rifa. “Kalau kamu ke sini Cuma mau ngomong yang bikin orang sedih,
lebih baik kamu pergi, deh,” kata Wilda. “Jangan marahi dia,” kataku pada
Wilda. “Kamu tenang aja. Aku nggak marah kok. Aku Cuma ngasih tau. Tapi, apa
yang aku bilang ke Rifa tadi itu benar kan ?” tanya Wilda. “Pokoknya aku benci
kalian berdua !” kata Rifa. “Maafin aku, ya. Rifa jadi benci sama kamu,” kata
Wilda. “Nggak apa-apa,” jawabku.
It’s
time to go home ! “Verna, pulang bareng yuk !” ajakku. “Kenapa pulang sekolah
harus bareng kamu ?” kata Verna, lalu pergi bersama Cerli, Jenis, dan Farya.
“Hai, Rifa !” sapaku. “Orang aneh,” jawba Rifa. “Pulang bareng aku aja !
rumahku kan, lewatin rumah kamu,” ajak Wilda. Akhirnya aku dan Wilda pulang
bersama. Di perjalanan, Wilda mengajakku untuk mengobrol. Tapi aku sedang tidak
bersemangat untuk diajak ngobrol. “Sarti, jangan sedih. Aku jadi sedih juga,”
kata Wilda. Kata-kata Wilda mengingatkanku dengan kata-kata Rifa yang dulu
sering dia ucapkan kepadaku. Sarti, jangan sedih. Aku jadi sedih juga. Kata-kata
itu selalu diucapkan oleh Rifa kalau aku sedang sedih. Tapi, itu saat aku masih
bersahabat dengannya. Aku ngelamun terus. Aku jadi tidak menghiraukan
keberadaan Wilda di sampingku. “Tin ... Tin ...” suara klakson mobil
menyadarkan lamunanku. “Sarti !!!” teriak Wilda. Aku merasakan sakit yang luar
biasa. Setelah itu, semuanya terasa gelap.
Aku
membuka mataku perlahan. Terdengar tangisan seseorang di sebelahku. “Wilda,”
panggilku. Kulihat mulut Wilda seperti mengucapkan sesuatu. “Apa ?” tanyaku.
Wilda mengulangi kata-katanya lagi. “Kamu ngomong apa ? aku tidak dengar,”
kataku. Wilda mengelus tanganku dengan lembut. Wilda tersenyum kepadaku. Aku
mmebalas senyumanku padanya. Sebenarnya apa yang terjadi ? di mana aku ? apa
yang terjadi denganku ? terakhir yang kuingat adalah teriakan Wilda memanggil
namaku dan rasa sakit yang kuraskaan. Akhirnya aku diantar pulang oleh
Wilda. Ternyata aku ada di rumah sakit. “Wilda, kenapa kita ada di sini ?”
tanyaku. Wilda mengatakan sesuatu. “Apa Wilda ?” tanyaku. Wilda hanya menggeleng.
Aku bingung, aku melihat orang-orang bicara. Tapi aku tidak mendengar sepatah
kata pun. Sesampainya di rumahku, Wilda mengatakan sesuatu lagi kepadaku. “Apa
?” tanyaku. Wilda menggelengkan kepala. Mungkin maksudnya adalah ‘tidak
apa-apa’ atau ‘tidak ada apa-apa’. Lalu dia melambaikan tangannya kepadaku
sambil tersenyum, lalu pergi. Kami masih memakai seragam. Jadi, mungkin saja
dia mau pulang. “Assalamu’alaikum,” kataku ketika masuk rumah. Aku melihat ibu
sedang menangis di tempat duduk. “Ibu ?” tanyaku. Ibu langsung menghampiriku
dan memelukku. Aku balik memeluknya. “Ibu kenapa bu ? ada apa ?” tanyaku. Ibu
mengelap air matanya dan mencium keningku. Lalu menggelengkan kepala. “Ya sudah
kalau tidak ada apa-apa. Sarti ke kamar dulu ya, bu,” kataku. Ibu mengangguk.
“Kenapa semua orang yang kutanyai hanya menggelengkan kepala dan menganggukkan
kepala ? atau ... hah ?! nggak mungkin ! nggak mungkin aku tuli !” kataku dalam
hati. Aku berlari ke kamarku dan menutup pintu kamarku. “Ya Allah, apa yang
terjadi denganku ? kenapa aku tidak bisa mendengar apa-apa ? kenapa semuanya
terasa sepi ? tidak ada yang dapat kudengar,” kataku sambil menangis. Aku
menghentikan tangisanku, lalu mengganti pakaianku. Kalau aku benar tuli, aku
tetap harus menjalani hidup ini dengan semangat. Tapi, kalau aku tidak bisa
mendengar, bagaimana caranya aku belajar ? aku tidak akan bisa mendengar apa
yang dijelaskan oleh guru. Tapi, aku masih bisa melihat dan bertanya.
Alhamdulillah ... terimakasih Ya Allah. Aku tersenyum dan mengerjakan PR.
Sekarang
PR-ku sudah selesai. Aku mau menonton tv. Tapi, aku jadi sedih karena teriangat
kekurangan diriku. Aku kan tidak bisa mendengar. Untuk apa aku menonton tv ?
tidak ada gunanya. Ibu masuk ke dalam kamarku. Ibu menggandeng tanganku ke
ruang tamu. “Wilda ?” tanyaku. Kami berdua berpelukan. “Sekarang aku tahu, aku
tidak bisa mendengar,” kataku. Wilda mengatakan sesuatu. Dari gerak mulutnya,
aku dapat menyimpulkan bahwa yang dikatakan oleh Wilda adalah “Sabar ya.” Aku
tersenyum kepadanya. Wilda menulis sesuatu di kertas, lalu menyodorkannya
kepadaku. Tulisannya “Kita masak yuk ! aku sudah izin kepada ibuku. Aku boleh
main di rumahmu sampai jam delapan malam. Syaratnya, PR harus sudah dikerjakan.
Dan di rumahmu, aku sholat magrib dan isya’. Kamu mau kan ?” Aku tersenyum dan
mengangguk. Lalu kami berdua ke dapur. “Kita masak apa ?” tanyaku. “Nasi
goreng,” jawab Wilda dengan mengejanya supaya aku megerti. Kami pun memasak
nasi goreng. Seru sekali ! yah, walaupun aku tidak bisa mendengar apa yang
dikatakan oleh Wilda. Selesai masak, kami memakannya. Kami juga membuatkan nasi
goreng untuk ibuku. Ibuku mencobanya dan memuji masakan kami. Ibu mengacungkan
jempolnya kepada kami. Aku dan Wilda tersenyum. Selesai makan, kami membaca
buku di teras. Sambil ngemil, makan astor.
Jam
sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Sudah saatnya Wilda
pulang. Wilda pamit kepadaku dan ibuku. “Bu, aku mau tidur dulu, ya. Aku ngantuk,”
kataku. “Iya,” jawab ibu. Aku berjalan menuju kamarku dan berbaring di kasurku.
Aku berdo’a sebelum tidur, lalu memejamkan mata.
Keesokan
harinya, aku bangun tidur dan melaksanakan sholat subuh berjamaah bersama
ibuku. Lalu aku mandi dan sarapan. Aku meraih buku diaryku dan pulpen, lalu aku
menulis di diaryku.
Bismillahirrohmanirrohim
Kemarin, adalah hari yang menyedihkan bagiku.
Kemarin, aku dan kedua sahabatku sudah tidak bersahabat lagi. Aku pulang
sekolah bersama Wilda. Aku nggak tau, kenapa akhir-akhir ini Wilda jadi
mendekatkan dirinya kepadaku. Padahal, kita kan hanya teman biasa. Kita bukan
sahabat. Namun, kata-kata Wilda mengingatkanku dengan kata-kata yang diucapkan
oleh Rifa, saat aku dan Rifa masih bersahabat. “Sarti, jangan sedih. Aku jadi
sedih juga” Karena aku terus mengingat kata-kata itu, aku jadi tidak
konsentrasi ketika berjalan. Saat itu, tidak ada yang kuingat selain teriakan
Wilda yang memanggil namaku, dan rasa sakit yang luar biasa. Tapi, aku ingat
waktu itu, aku ada di jalanan. Dan aku, mendengar suara klakson mobil. Atau,
mungkin aku tertabrak mobil ? aku sendiri tidak tahu. Tapi, ketika aku membuka
mata, aku sedang terbaring di kasur. Aku berada di rumah sakit. Sejak saat itu,
aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Setiap orang yang kutanyai hanya
menjawab sedikit, mengangguk, dan menggeleng. Apa yang sebenarnya terjadi
padaku ? ya sudah, sampe sini dulu ya ! aku mau berangkat sekolah. Bye, diary !
Aku menutup diaryku dan menyimpan pulpenku. Aku
menggendong tasku dan menghampiri ibu. Aku salim kepada ibu, lalu berangkat
sekolah. Sebelum berangkat ke sekolah, aku bertanya kepda ibu, “Bu, apakah
benar aku tidak bisa mendengar ?” tanyaku. Ibu mengangguk. Ibu menjelaskan
kejadian dari awal aku pulang sekolah sampai aku tiba di rumah. Ibu menuliskan
kejadian kemarin di kertas. Ibuku diberitahu oleh Wilda. Aku membacanya, ceritanya,
waktu aku pulang sekolah, aku tertabrak mobil. Dan setelah diperiksa, ternyata
ada salah satu anggota tubuhku di telinga yang rusak. Di kiri dan kanan. Sejak
saat itu, aku sudah tidak bisa mendengar. Aku menangis ketika membaca cerita
dari ibu. Tapi aku tetap bersyukur dengan apa yang masih bisa kulakukan
sekarang. Aku masih bisa menggunakan otakku untuk berpikir, aku masih bisa
melihat, berbicara, tanganku, berjalan, dan anggota tubuh lainnya. Di
perjalanan ke sekolah, ada yang menepuk pundakku. Aku terlonjak kaget dan
menoleh ke belakang. Itu Wilda. Kami tersenyum dan melanjutkan perjalanan
menuju ke sekolah. Di perjalanan ke sekolah, aku memikirkan apa yang akan
terjadi nanti di sekolah ? apakah teman-temanku akan menerimaku ? tapi, apakah
mereka tahu bahwa aku tidak bisa mendengar ?
Sampainya di sekolah, Wilda terus berada di
sampingku. Di kelas, aku melihat Verna sedang bersama Cerli, Jenis, dan Farya.
Mungkin mereka sudah bersahabat, pikirku. Aku melihat Rifa sedang mengobrol
bersama Hara. Aku jadi sedih.
Dua minggu kemudian ...
Sudah
dua minggu aku tidak berbicara kepada Verna dan Rifa. Aku pikir sekarang mereka
senang karena aku sudah tidak pernah lagi mengganggu mereka. Sudah dua minggu
juga aku dan Wilda bersahabat. Bukan aku yang meminta, tapi Wilda yang
mengajak. Tapi kami bersahabat kurasa aneh. Kami seperti bukan sahabat. Wilda
hanya pulang sekolah bersamaku, bersedia mengantarku ke mana pun, dan bersedia
mendengarkan curhatku padanya. Tapi ketika aku tidak membutuhkan dirinya untuk
menemaniku, dia malah bergabung dengan teman-teman yang lain. Seharusnya dia
tetap berada di sampingku. Karena dia adalah sahabatku. Dan sekarang hidupku
semakin suram dan sepi. Karena di manapun tetap terasa sepi bagiku. Di sekolah,
aku hanya duduk di kursi. Aku hanya keluar kelas jika diperintahkan untuk
keluar kelas. Seperti saat olah raga dan pramuka. Setiap istirahat, aku hanya
duduk diam di kursi. Karena kupikir, untuk apa keluar kelas ? di luar kelas
juga sama saja menurutku. Tidak ada suara. Bermain pun sama, tidak ada suara. Sekarang
pun sama. Aku sedang duduk di kursiku sambil memandangi Rifa dan Verna yang sedang
asyik bermain dengan sahabat barunya. Aku menundukkan kepala. Sahabatku, di
mana kamu berada ? aku sudah menunggumu sekian lamanya. Kenapa kau perlakukan
aku seperti ini ? sahabatku, aku ingin kau warnai hari-hariku dengan kata-kata yang
indah. Jangan buat kehidupanku semakin sepi dengan hilangnya keberadaanmu di
sampingku.
“Rifa,
sahabat kamu tuh. Kasihan dia, sudah dua minggu seperti ini terus. Memangnya
kamu nggak kasihan sama dia ? walaupun dia bersahabat denganku, dia itu selalu
kangen sama kamu. Dia selalu curhat sama aku, bahwa dia itu kangen banget sama
kamu walaupun setiap di sekolah ketemu sama kamu. Dia itu masih menganggap kamu
sebagai sahabatnya,” kata Wilda ketika sedang istirahat. “Apaan sih kamu ? ganggu
aja. Kamu liat nggak sih ? aku lagi main sama sahabat-sahabat aku ! kalau
tentang dia sih, aku nggak peduli. Dia kan bukan sahabat aku. Kamu tanyain aja
sama Verna. Mungkin Verna masih peduli sama Sarti,” jawab Rifa. “Seharusnya
kamu peduli sama Sarti. Dia itu sahabat kamu dari kelas satu. Kalau Verna, aku
nggak peduli sama dia. Menurutku Verna itu nggak sungguh-sungguh mau sahabatan
sama kamu dan Sarti. Sarti juga nggak pernah bilang sama aku, kalau dia itu
kangen sama Verna,” kata Wilda. “Gini aja deh. Kamu kan sahabatnya, jadi kamu
aja yang menangani masalah ini,” kata Rifa. “Lho ? kamu gimana sih ? dia itu
kangen sama kamu. Seharusnya kamu hibur dia, supaya dia nggak sedih lagi,” kata
Wilda. “Masa kamu sebagai sahabatnya nggak bisa menghiburnya ?! jangan ganggu
aku ! persahabatan aku sama dia itu sudah selesai !” teriak Rifa. Aku melihat
Rifa dan Wilda sedang mengobrol. Tapi sepertinya mereka bertengkar. “Sana pergi
! aku benci sama kamu !” kata Rifa sambil mendorong Wilda hingga terjatuh.
“Wilda !” kataku dalam hati. Aku bangkit dari kursiku. Aku berdiri di samping
pintu kelas. Wilda menoleh ke arahku. “Sarti ?” tanya Wilda pelan. “Sarti ?
kamu dengar apa yang kami katakan ?” tanya Rifa. Aku tidak mendengar apa yang
dikatakan Rifa. Jadi, aku diam saja sambil menatapnya. “KAMU DENGAR APA YANG
KUKATAKAN ???!!!” teriak Rifa. Murid-murid di sekitar kami mengerubungi kami.
“JAWAB !” bentaknya sambil menghentakkan kaki. Wilda mengisyaratkan padaku, apa
yang dikatakan oleh Rifa. Aku menatap Rifa dan menggeleng. Maksudku, aku tidak
tahu apa yang tadi dikatakan oleh Rifa, saat Rifa dan Wilda bertengkar. Rifa
pergi meninggalkan kami. “Rifa ! kamu tahu enggak sih ?! Sarti itu sudah
menunggumu sekian lama ! dan dia punya rahasia yang tidak diketahui oleh
siapapun kecuali orang-orang terdekatnya,” kata Wilda. Tapi aku tidak mendengar
apa yang dikatakan Wilda. “Rahasia apa ?” tanya Hara. Aku tahu apa yang
dikatakan Hara, dari gerak mulutnya. Aku memegang pundak Wilda dan menggeleng. Maksudku,
“Jangan”. “Aku tidak akan memberitahu,” jawab Wilda. Aku melepaskan tanganku
dari pundaknya. Akhirnya murid-murid yang menegerubungi kami bubar.
Keesokan harinya di sekolah ...
“Rifa,
sebenarnya Sarti itu punya rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang
terdekatnya,” kata Hara membisiki Rifa. “Rahasia apa ?” tanya Rifa. “Aku juga
tidak tahu. Kita perhatikan saja Sarti,” jawab Hara. “Mungkin ada hubungannya
dengan saat kemarin aku membentaknya dengan suara yang keras, tapi dia hanya
diam,” kata Rifa. “Coba aku panggil dia,” kata Hara. “Sarti !” panggil Hara.
“Sarti !” panggil Rifa. “SARTI !!!” panggil mereka berdua. “Apa dia tidak bisa
mendengar ? atau tidak mempedulikan kita ?” kata Hara. “Apa kamu pernah
melihatnya bicara ?” tanya Rifa. “Ya, aku pernah melihatnya bicara. Tapi,
setiap orang yang dia tanyai, hanya menjawab sedikit sambil mengejanya,” jawab
Hara. “Kenapa dia tidak pernah cerita sama aku ?” tanya Rifa. “Karena kamu
tidak pernah mendekatinya,” jawab Hara. “Lalu kepada siapa aku harus bertanya
?” tanya Rifa. “Karena rahasia ini hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya
saja, siapa lagi kalau bukan Wilda ?” jawab Hara. Aku beranjak dari kursiku
sambil menggendong tasku dan membawa selembar kertas. Aku menghampiri Wilda dan
memberikan kertas itu kepadanya. Wilda membacanya sebentar. “Iya, pasti aku
sampaikan,” jawab Wilda sambil mengangguk. Aku tersenyum padanya. Kami berdua berpelukan.
“Eh, itu mereka ngapain ?” tanya Jenis. “Dasar orang-orang aneh ! mereka kan
aneh, jadi nggak usah dipeduliin lah,” kata Verna. “Tapi dia bawa tas. Apa dia
mau pergi ?” tanya Cerli. “Ada apa sih dengan mereka ?” tanya Farya. Sebelum
keluar kelas, aku memandang ketiga sahabatku. Yaitu Wilda, Rifa, dan Verna.
Mereka semua juga memandangku. Wilda memandangku dengan berlinangan air mata.
Begitu juga aku. Karena Wilda tahu aku harus pindah ke Surabaya dan
meninggalkan teman-teman dan sahabat-sahabatku. Lalu aku keluar kelas. Aku menulis
di kertas yang kuberikan kepada Wilda tadi, “Wilda, tolong ceritakan kejadian
waktu itu. Aku ingin mereka mengetahuinya.”. “Rifa, Verna, Hara, Farya, Jenis,
Cerli,” panggil Wilda. Mereka semua menghampiri Wilda. “Tadi Sarti titip surat
ini ke aku, untuk disampaikan pada kalian. Kalian dengarkan baik-baik, ya !”
kata Wilda. “Teman-teman, maafkan aku kalau selama ini aku membuat kalian
merasa terganggu dengan kehadiranku. Aku mau mengucapkan terimakasih kepada
kalian semua. Untuk Rifa, terimakasih sudah mau menjadi sahabatku dari kelas
satu. Aku masih menganggapmu sebagai sahabatku. Untuk Verna, terimakasih kamu
sudah mau menjadi sahabatku dan Rifa. Aku senang kamu mau berubah, saat kamu
meminta untuk menjadi temanku dan Rifa di taman. Waktu itu kamu menggigit es
krimku. Gigimu jadi ngilu. Hihihi ... masih ingat kan ? Aku masih menganggapmu
sebagai sahabatku. Untuk Wilda, terimakasih karena sudah mau menemaniku dan
bersedia mendengarkan curhat selama aku, Verna, dan Rifa terpisah. Untuk Hara,
terimakasih karena sudah mau menemani dan menjadi sahabat Rifa selama aku tidak
bersamanya. Untuk Cerli, Jenis, dan Farya, terimakasih kalian sudah mau
menemani dan menjadi sahabat Verna selama aku tidak bersamanya. Terimakasih
untuk kalian semua. Aku sayang pada kalian. Wilda, tolong ceritakan kejadian
waktu itu. Aku ingin mereka mengetahuinya. Terimakasih .....
Dari teman dan sahabat kalian, Sarti,” Kata
Wilda membacakan surat dariku. Semuanya menangis setelah mendengar surat
dariku. Wilda menghembuskan nafas, lalu berkata, “Waktu itu, aku dan Sarti
pulang sekolah bersama. Karena rumahku dan rumah Sarti satu arah. Di
perjalanan, dia terlihat sediiih sekali. Aku tidak berhasil menghiburnya.
Ketika aku mengatakan ‘Sarti, jangan sedih. Aku jadi sedih juga’, dia jadi
ingat kata-kata yang diucapkan oleh Rifa, saat dia dan Rifa masih bersahabat.
Karena ketika Sarti sedih, Rifa pasti mengatakan itu kepadanya. Karena tidak
konsentrasi ketika berjalan, Sarti ...” kata-kata Wilda terputus. “Lanjutkan,”
kata Rifa. “Dia ... tertabrak mobil. Dan setelah diperiksa, ternyata Sarti jadi
... tidak bisa mendengar. Dia harus pindah ke Surabaya dan meninggalkan kita. Dia
selalu mengulang kata-katanya, ‘Sahabatku, di mana kamu berada ? aku sudah
menunggumu sekian lamanya. Kenapa kau perlakukan aku seperti ini ? sahabatku,
aku ingin kau warnai hari-hariku dengan kata-kata yang indah. Jangan buat
kehidupanku semakin sepi dengan hilangnya keberadaanmu di sampingku’ aku rasa, yang
dimaksudnya “SAHABAT” adalah Rifa,” jelas Wilda. Rifa menangis dan menyesal.
“Ada lagi. Dia bilang, ‘Jangan titikkan air mata kalian di kala aku pergi
meninggalkan kalian. Berbahagialah bersama-sama. Aku ingin kalian bersama-sama.
Kalian harus benar-benar bersahabat. Seperti saat aku dan Rifa bersahabat.
SAHABAT bukan hanya sebutan di mulut. Kalau kalian mengakui kalian adalah
sahabat, jangan sekadar berteman. Bersikaplah seperti sahabat. Bersahabatlah.’”
kata Wilda membacakan surat dariku. Akhirnya, mereka semua berpelukan dan bersahabat.
Mereka tidak pernah bertengkar. Keindahan persahabatan mereka belum pernah
mereka rasakan sebelumnya. “Aku senang sekali,” kata Wilda. “Aku juga,” kata
Rifa, Verna, Cerli, Hara, Jenis, dan Farya. “Aku juga senang kalian bahagia
seperti ini,” kataku dalam hati. Walaupun aku jauh dengan mereka, dan aku tidak
bisa mendengar. Tapi aku mendengar keceriaan mereka.
Beberapa
hari kemudian, aku mendapat sms dari sahabat-sahabatku.
Assalamu’alaikum
Hai Sarti ! apa kabar ? kita semua disini
kangeeen banget sama kamu ! kamu kangen nggak sama kita ? kita udah sahabatan
loh ! kita nggak pernah tahu kalau bersahabat seperti ini rasanya enaaak banget
! sayangnya kamu di sana. Tapi kamu tetap jadi sahabat kita kok ! kamu mau kan
? surat ini dari Wilda, Verna, Jenis, Farya, Rifa, Hara, dan Cerli. Balas sms
ini ya !
Aku membalas sms itu :
Wa’alaikumsalam
Alhamdulillah, aku baik-baik aja. Aku kangen
banget sama kalian. Tapi kenapa kalia masih mau bersahabat denganku ? bukannya
kalian sudah tahu aku berbeda dengan kalian ?
Beberapa menit kemudian, aku mendapat balasan
dari mereka :
Makasih, kamu mau balas sms ini. Enggak kok,
Sar. Kamu nggak beda dengan kita. Di mata Allah semua manusia itu sama, bukan ?
lagipula, kekurangan bukan penghalang untuk terus bersahabat. Dan, sahabat itu
tidak merasa malu, kecewa, atau sebal kalau sahabatnya memiliki kekurangan.
Kita berharap, kamu tidak berpikir bahwa kamu berbeda. Walaupum kamu tidak bisa
mendengar, kamu masih bisa bersahabat. Kamu harus bersyukur mempunyai banyak
sahabat, sahabat itu susah dicari. Bersahabat itu menyenangkan. Melakukan
apapun selalu bersama-sama. Jadi menyenangkan dan masalah yang kita punya,
tambah ringan. We always together !
Aku terharu membaca sms dari sahabat-sahabatku.
Yang mereka katakan memang benar. Aku membalas :
Terimakasih sahabat-sahabatku. Aku sayang
kalian.
Langsung ada sms lagi dari mereka :
Oh iya, Sarti, sekarang kamu sekolah di mana ?
sudah ada sahabat baru ? di sekolah barumu temannya baik-baik atau kebanyakan
yang jahat ?
Aku membalas :
Sekolahku di dekat rumahku. Alhamdulillah,
semuanya baik. Nggak ada yang jahat. Aku nggak punya sahabat baru.
Mereka membalas :
Nggak apa-apa kok, Sar. Kalo kamu punya sahabat
baru. Kita nggak akan marah dan sedih.
Aku membalas :
Iya, aku tahu kok kalian tidak akan marah
sedih. Tapi aku lebih suka tidak menambah sahabat. Aku tetap ingin bersama
kalian. Kalau kalian mau menambah sahabat, boleh.
Mereka membalas :
Sarti, berapapun sahabat yang kamu miliki, kita
juga sahabat kamu kan ?
Aku membalas :
Iya, memang benar. Tapi nggak apa-apa kan ?
Mereka membalas :
Nggak apa-apa kok. Sudah dulu ya ! daaah !
jangan sedih ya, kalau kamu kangen sama kita, sms kita aja. Kita pasti bales
sms dari kamu kok !
Aku membalas :
Oke, makasih ya udah sms aku.
Mereka membalas :
Iya, sama-sama.
Sejak saat itu, aku mulai berteman dengan siapa
saja. Kalau kemarin aku hanya berteman dengan satu atau dua orang, besok aku
harus berteman lebih banyak. Aku tidak boleh malu mempunyai kekurangan seperti
ini. Dan, ternyata semuanya menerimaku dan mau berteman denganku. Aku senang
sekali ! Sekian cerita dariku. Semoga teman-teman bisa mengambil pelajaran dari
cerita ini.
Karya : Yusrani Ramadhina
Rabu, 23 Juli 2014
Baca juga yang ini !
Pohon
Cinta
Pohon cinta ...
Adalah sebuah benih ...
Yang tumbuh ...
Menjadi buah cinta ...
Buah yang tidak akan busuk ...
Cinta yang abadi ...
Adalah ...
Cinta seorang ibu ...
Karya : Yusrani Ramadhina
Dhina bikin ini udah lama. Waktu
tanggal 23 Oktober 2013. Udah lama ya mi.
0 comments:
Posting Komentar