.:: from beloved ::. To my children, "never ending learning" ...

Selasa, 26 April 2011

Sesekali Dina mengusap peluh di dahinya, yang mengalir terus membasahi pelupuk matanya. Seharusnya matanya itu indah, namun Dina kecil terlihat kumal di tengah-tengah kegaduhan pasar induk Bekasi. Ditahannya luka lecet di jemari tangannya yang kecil. Sambil meringis, dilihatnya tangannya yang memerah dengan bercak darah di antara kotoran lumpur yang masuk hingga ke sela-sela kuku jari kedua tangannya.


Pagi ini lumayan banyak hasil yang bisa dikumpulkannya, karena Dina berangkat selepas sholat subuh ditemani Fikri, kakak laki-lakinya. Dina harus memungut sisa-sisa sayuran yang tercecer di pasar induk, atau yang sudah ditinggal oleh penjualnya karena sudah tidak layak atau tidak laku. Sambil menghela nafas, Dina duduk di emperan toko milik seorang keturunan chinese.

Toko itu nampak padat dan sarat dengan barang-barang kelontong, sementara si pemilik bertolak pinggang sambil menunjuk-nunjuk ke arah tumpukan barang yang baru saja tiba diantar truk berukuran sedang. Sepertinya pemilik toko merasa tidak puas dengan tenaga buruh yang dimilikinya. Seandainya bisa, buruh-buruh itu dipaksa mengangkut barang dengan jumlah yang lebih banyak lagi.
Tak lama datang seorang anak lelaki kecil berseragam TK dengan diantar sepeda motor. Rupanya itu anak si pemilik toko. Si anak langsung menghampiri ayahnya yang pemilik toko itu, seraya meminta uang untuk jajan. Meskipun masih kecil, si anak itu tak kalah cerewetnya dengan sang ayah. Dengan enaknya dia mulai menyuruh Parman, lelaki abg yang baru saja menjemputnya dari sekolah dengan sepeda motor.

“Hoi, jangan bengong aja lu. Taruh tas gua kek ke dalam, sudah gede masih bego aja sih !”.

Dina menarik nafas, ingatannya menerawang kepada Jundi adik lelakinya yang masih kecil. Jundi terpaksa mereka tinggalkan di rumah kardus dekat rel, karena memang masih terlalu kecil untuk di ajak ke pasar. Perlahan, air matanya mulai mengalir diiringi rasa khawatir yang menyelimutinya. Bagaimana seandainya hujan nanti, pasti air hujan akan merusak rumah kardusnya. Bagaimana jika ada kereta lewat, adiknya sedang berada di tengah-tengah rel ?

Dina kecil memang masih kecil, pikirannya sederhana dengan logika seadanya. Dia mulai berandai-andai di tengah rasa khawatirnya. Seandainya abi dan ummi masih ada ......
Dina merasa untung karena ada kakak lelakinya yang menemani, meskipun tidak bisa dibilang dewasa. Fikri baru berumur 9 tahun, 8 tahun umurnya saat mereka ditinggal pergi ibunya. Sudah setahun, mereka bertiga harus berkeras untuk bertahan hidup. Dina sendiri sering menangis saat membayangkan Fikri kakaknya yang harus bergelayutan di atas kereta bekasi yang penuh sesak. Tak banyak yang bisa dijajakan kakaknya itu selain kertas tisu.

Pernah suatu ketika ada kabar anak lelaki yang jatuh dari atap kereta, seumuran dengan kakaknya itu. Dina langsung pergi sambil menggandeng adiknya untuk melihat siapa yang jatuh. Hatinya yang kecil seperti tidak kuasa lagi menahan beban sedih saat harus menyingkap koran yang menutupi mayat anak lelaki tersebut. Alhamdulillah serunya dalam hati, meskipun dia melihat sosok mayat yang memiriskan hati namun dia bersyukur karena itu bukan kakaknya.

Baru selepas jam 9 malam kakaknya pulang dengan membawa sebungkus nasi uduk tanpa lauk. Fikri sering mengajak mereka bertiga makan bersama di dalam rumah kardus, yang terbuat dari kardus bekas bungkus rokok yang agak besar. Dulunya rumah kardus itu milik seorang kakek tua yang telah meninggal karena saking susahnya. Sakit yang diderita ditambah beban hidup mempercepat kakek itu meninggal di tempat, tanpa ada siapapun yang mengurusnya.

“Tooooeeeet … “ suara itu terdengar jelas dan memekakkan telinga. Dina tersadar dari lamunannya, setelah kereta barang melintas di rel depan pasar. Dina beranjak pergi sambil menjinjing karung goni bekas yang telah berisi sisa-sisa sayuran yang dipungutnya dari dalam pasar. Tempat yang ditujunya seperti biasa, tempat wudhu di mushola kecil di sudut pasar. Sebenarnya mungkin tidak pantas disebut tempat wudhu, karena kotor dan kecilnya tempat itu.

Dina mulai mengeluarkan sayuran dari dalam karung, untuk dibersihkan. Kalau di rumah kardusnya, mana ada air. Itu pun, setelah berebutan dengan orang-orang pasar yang mengambil air di ember untuk di bawa ke lapaknya masing-masing. Sebenarnya aneh juga, dari sekian banyak orang yang mengantri air di mushola, tapi tidak terlihat satupun dari mereka pernah sholat di dalam mushola.

Hari ini ada kol, buncis, kentang, dan wortel yang masih lumayan berbentuk. Dina senang sekali dengan wortel, saat umminya masih ada dulu. Sebetulnya sayuran-sayuran itu tidak hendak dimasak karena Dina kecil tidak bisa memasak, lagipula tidak ada tempatnya. Sayuran itu nantinya akan dibawa ke tempat penjual nasi goreng di belakang pasar, yang buka selepas maghrib. Biasanya, Dina diberi imbalan berupa sebungkus nasi goreng tanpa telur dan air putih panas di plastik kecil.
Jika beruntung, Dina membawanya pulang dan memakannya bertiga dengan kakak dan adiknya. Namun sering kali adiknya sudah tidur dan kakaknya belum pulang. Jika hari mulai hujan, mereka bertiga berteduh di dalam mushola yang berlantai semen yang sudah rusak sana sini.

Hari ini hari jum’at, seperti biasanya Dina harus memandikan adiknya untuk sholat jum’at di mesjid dekat terminal. Jarak dari pasar ke terminal sekitar 1 km. Jundi kecil sering mengeluh berjalan sejauh itu, karena mereka biasanya belum makan hingga maghrib tiba dengan nasi goreng atau nasi uduk yang dibawa Fikri. Sebetulnya Jundi juga sudah merasa malu jika harus mandi bertelanjang di kali yang melintas di pasar, namun memang cuma itu air yang ada dan terdekat.

Hari ini seperti telah direncanakan Fikri, mereka sudah mempunyai kumpulan uang 20 ribu rupiah. Fikri bertekad membawa adik-adiknya berjalan ke Sukabumi, tempat dimana abi umminya dimakamkan. Uang 20 ribu tidak cukup untuk ongkos, tapi paling tidak Fikri bilang bisa untuk beli air minum dan nasi putih di jalan.

Mereka semua masih kecil, tidak tahu berapa jauhnya jarak Bekasi – Sukabumi. Apalagi akan ditempuhnya dengan berjalan kaki. Sebetulnya walau dengan logika seadanya, Dina lebih cerdas dari kedua saudara lelakinya. Dia berkata, “Kenapa kita harus jalan kaki ke Sukabumi ? Kan, dulu aja kalau kita naik motor itu jauh sekali dan lama. Kenapa kita tidak ke rumah bude saja yang dekat-dekat sini ?”. Fikri cuma bisa berkata, “Kita itu anak abi ummi, bukan anak siapa-siapa. Walaupun kita tinggal di rumah kardus, tapi kita tidak mencuri dan minta-minta.” Fikri bicara diselingi batuk-batuk kering, yang memang sudah dirasanya sejak kecil. Ditambah lagi berjualan di atas kereta tanpa sarapan, semakin membuatnya kurus dan sakit-sakitan.

Fikri masih merasa beruntung, karena sepeninggal abinya dulu mereka masih memiliki 2 kardus berukuran besar berisi kertas tisu yang dijadikannya modal berjualan di atas kereta. Sudah setahun kondisi seperti ini mereka rasakan. Namun dengan kekerasan hati Fikri, dia selalu meyakinkan adik-adiknya bahwa suatu saat mereka akan ditunjukkan jalan oleh 4JJI.

Adzan Jum’at telah berkumandang. Dina menunggu di emperan masjid sambil membawa kantong plastik kosong. Jundi sudah masuk ke dalam barisan jamaah sholat Jum’at. Beruntung dia hari ini, karena Fikri sudah pulang dan menyertainya sholat Jum’at. Itu karena rencana mereka akan pergi bersama hari ini ke Sukabumi.

Dina menyiapkan kantong plastik untuk menjaga sendal saudara-saudaranya. Sendal itu sudah robek di sana-sini, tapi cuma itu yang mereka punya. Selain itu, para jamaah yang sholat Jum’at kebanyakan pengendara sepeda motor dan para pedagang di sekitar terminal. Mereka selalu membawa koran sebagai alas sholat. Seperti biasa Dina selalu ikut berebut koran bekas itu selepas sholat Jum’at selesai.

Siang ini hari cerah sekali, bahkan mulai terasa panas. Keringat mulai membasahi kening Jundi, yang selalu mengerutkan mata dan dahinya. Mereka mulai menyusuri jalan sepanjang kalimalang, karena hanya itu bekal pengetahuan mereka selama naik motor bersama abi dan umminya dulu. Meski masih kecil, namun Jundi lumayan cepat menghapal jalan. Mungkin karena kesukaannya pada sepeda motor trail yang selalu dimintanya untuk dibelikan oleh abinya.

Sesekali suara klakson mobil mengagetkan mereka, karena jalan kalimalang memang tidak menyediakan trotoar untuk pejalan kaki. Tidak terasa sudah 3 jam mereka berjalan kaki. Jundi sudah terlihat semakin lelah, sementara Dina harus berulang kali meringis menahan lecet di jari-jari tangannya yang membawa kantong pelastik berisi koran bekas. Fikri bilang, “Koran-koran itu untuk apa dibawa bikin berat ? Sudah ditinggal saja daripada bikin sakit tangan”. “Ya kan nanti lumayan bisa untuk alas kita tidur atau duduk-duduk istirahat, kita kan gak bawa apa-apa”, jelas Dina sambil mengangkat kantong pelastik dan menunjukkan koran-koran itu ke kakaknya. “O iya ya, mbak Dina pinter ya. Njun juga sudah capek jalan terus dari tadi”, pinta Jundi yang pintar membujuk yang menyebut dirinya dengan panggilan njun.

Yah, hari sudah panas dan perjalanan pun sudah lama. Tidak ada salahnya Fikri mengajak adik-adiknya untuk istirahat. “Tapi nanti aja Jun, kalau kita sudah ketemu warteg. Kan nanti kita bisa minta air minum dan beli nasi putih. Kalau di sini liat aja, warung-warungnya keliatannya mahal-mahal,” kata Fikri menenangkan adik-adiknya.

Sudah tidak tahan lagi, Jundi duduk lemas di pinggir jalan. Sementara itu, “Tiiiiiiiiiiiiiiiiin ....”, tiba-tiba suara klakson mobil sedan mengejutkan mereka. Dari sebelah kiri, jendela kursi belakang mobil itu terbuka. Kepala perempuan setengah baya keluar, seraya berkata menghardik mereka “Heh, kalo mau duduk tuh di lapangan kek atau di rumah. Jangan di pinggir jalan raya begini, kalo ketabrak nanti gue yang disalahin !”. Fikri melihat ke arah wanita itu, sementara Dina mengusap-usap punggung adiknya.

“Nyek !!!!”, begitu terasa di hati Fikri. Bukan karena perkataan wanita tadi, tapi sepertinya wanita itu dikenalnya. Tak lama Dina yang segera bangun juga melihat ke wanita di mobil. Si wanita tadi tidak meneruskan perkataannya, sejenak dia pun tertegun. Tapi hanya sebentar saja, kemudian buru-buru menutup kaca jendela mobilnya dan menyuruh kepada sopir untuk segera melaju.

“Itu kok kayak ummi ya ?”, kata Dina separuh bingung. Fikri pun merasakan hal yang sama, namun dia menenangkan adiknya itu. “Bukan lah Na, masa ummi gak pakek jilbab, mana galak banget lagi ...”. Sementara Jundi tidak berkata apa-apa. Bagi dirinya yang masih kecil, cuma air mata yang bisa dikeluarkannya yang menggambarkan segala perasaannya.

Kenangannya akan ummi, rasa letih yang dirasanya, dan rasa lapar yang entah dari kapan dia rasakan. Jundi mulai menangis dan berkata, “Masih lama jalannya ya ?”. Sebetulnya, Fikri pun sedih juga melihat adiknya itu. Tapi dipaksanya dengan berpura-pura marah dan kasar, “Ya iyalah masih jauh, masa kamu segitu aja udah capek. Mana pake nangis lagi ...”.

Dina menunjuk halte bus yang sudah rusak di tepi jalan sebelah kiri, sekitar 100 meter dari tempat mereka. “Ya udah, kita istirahat di sana aja tuh. Lagian emang udah lama kita jalannya dari tadi”. “Ya udah, kalo gitu mas Fikri cari minum buat kita. Kamu ajak aja njun ke sana”.

Kalau tidak salah daerah ini sudah mendekati cawang, ujung dari jalan kalimalang yang ke arah Jakarta. Di dekat situ ada pasar, kios-kiosnya semua berisi beras. Pikir Fikri, di pasar pasti ada warung makan. Atau paling tidak, ada wc umum yang bisa diambil air dari baknya. Pikirannya sudah berencana mengambil air mentah itu untuk mereka minum bersama-sama. Bagaimanapun juga, rasa ragu ada pada dirinya yang masih kecil. Berbekal uang 20 ribu recehan, apa cukup untuk sampai ke Sukabumi ? Kertas tisu yang dimilikinya pun sudah habis, hanya sisa satu bungkus kecil yang dibawa di saku bajunya.

Hari sudah mulai senja, sudah 3 kantung plastik air minum mereka habiskan tanpa sedikitpun makanan. Sholat ashar tadi mereka laksanakan bertiga di jalur hijau di pinggir jalan raya, dengan air wudhu dari kantung yang dibawa Fikri. “Sudah mau maghrib Wik”, kata Dina yang juga biasa memanggil kakaknya itu dengan panggilan Kuwik. “Iya, kamu coba ke mushola itu yang di pinggir jalan, Na. Ajak Njun ke situ, mas Kuwik mau cari makan dulu sekalian kamu sholat sama Njun”, perintah Fikri kepada adik-adiknya.

Jundi sedari tadi tidak bersuara. Rasa lelah yang dirasakannya seperti siksaan yang tiada berakhir. Namun bayangan akan ummi dan abinya yang menguatkannya untuk terus berjalan.
Nasi putih 1 bungkus dengan kerupuk ditambah air minum 1 kantung plastik kecil, Fikri dapatkan dari tukang nasi goreng yang ada di sekitar situ. Fikri membayarnya dengan uang 2 ribu rupiah. Uang pertama yang dikeluarkannya, pikirnya. Meski merasa sayang, namun Fikri juga tahu rasa lapar yang dirasa adik-adiknya. Dia pun juga sudah merasa lapar, ditambah lagi kemarin malam dia sengaja tidak makan karena nasi yang ada cuma sedikit.

Hari ini kebetulan hari kampanye partai politik peserta pemilu. Di mushola mereka melihat banyak orang-orang berseragam kuning bergambar lambang partai politik yang mereka tidak tahu namanya. Selepas sholat maghrib, mereka semua berebutan nasi bungkus yang dibagikan oleh koordinator lapangan pelaksana kampanye. Dina hendak bangun untuk ikut berebut makan, namun Fikri menahan tangannya. “Jangan Na, ini saja sudah cukup. Jika dengan nasi ini 4JJI ridho, maka kita akan kuat untuk terus jalan”, kata Fikri. “Iya tapi kan gak pa pa Wik, mereka juga abis sholat kok”, protes Dina kepada kakaknya itu. “Iya, tapi coba kamu lihat cara mereka sholat dan makan. Berebutan seperti itu, seperti orang kelaparan yang gak mikirin orang lain aja. Lagian juga kita gak tau makanan itu didapat dari uang bagaimana. Paling-paling uang sogokan biar ikutan kampanye”, jelas Fikri.

“Yah, Dina sih gak ngerti itu. Tapi kan kasihan Njun yang masih laper dan capek”, ujar Dina sambil menunjuk ke arah Jundi. “Ya sudah kalau begitu, mas Kuwik coba minta”, kata Fikri mengalah sambil berjalan menuju ke kerumunan orang itu. Fikri tidak terbiasa berebut, tapi saat itu dia coba menerobos kerumunan menuju orang yang sedang membagikan nasi bungkus. “Pak, boleh minta nasinya gak ? Itu buat adik-adik saya kasihan belum makan”, pintanya sambil menunjuk ke arah adik-adiknya. “Hah, minta ? Yang di sini aja belum kebagian semua, lagian lu juga masih kecil. Gak bakal ikutan pemilu, percuma aja dikasih makanan juga gak bakal milih partai ini”, kata bapak berkumis tebal dan berjaket hitam.

Fikri tidak mau berdebat, dia kembali ke adik-adiknya dengan perasaan menyesal. Bukan karena tidak mendapatkan makanan, tapi kenapa dia sampai mau minta-minta ke mereka. “Mas Kuwik bilang juga apa, bukan dikasih malah dimarahin !”, kesal dia berkata sambil duduk di sebelah Jundi. Matanya masih melihat ke arah kerumunan orang-orang itu, namun dia pikir tak ada gunanya memikirkan mereka. Fikri langsung mengambil air wudhu untuk sholat maghrib.
“Ayo kita berangkat lagi”, pinta Fikri kepada adik-adiknya.

Hari sudah larut, mereka tidak tahu sudah sampai mana. Namun samar-samar mereka masih ingat daerah ini, karena sepertinya mereka pernah melewatinya bersama abi dan umminya dulu. Kalau mau dibilang, ini daerah Pasar Induk Kramat Jati.

Fikri memilih tempat yang agak sepi, di halte yang sudah tidak ditempati oleh orang-orang yang menunggu bis. Orang-orang lebih suka menunggu bis di depan pintu masuk pasar, yang akhirnya malah sering membuat macet. Fikri langsung duduk, sambil menunduk dan menyeka dahinya. Adik-adiknya mengikuti, sambil beberapa kali menguap karena mengantuk. Belum sempat berkata-kata, datang mobil bak terbuka parkir di depan halte. Satu orang sopir dan seorang ibu setengah tua turun dari mobil. Si ibu langsung melihat ke arah Jundi, “Udah malam gini kok belom pulang, emang gak dicariin orang tua ?”, tanya si ibu sambil menurunkan tas dari dalam mobil.
Fikri hendak menjelaskan, namun dirasanya terlalu panjang dan malas juga. Dia cuma berkata, “Sebentar lagi juga jalan kok bu. Kita mau ke Sukabumi”. Abang supir yang sedang menurunkan keranjang dari dalam bak mobil bertanya, “Ke Sukabumi mau naik apa, jalan kaki ?” sambil tertawa dan tidak menoleh ke arah ketiga anak itu.

“Iya pak, mana udah ngantuk lagi” pertama kali Jundi bicara kepada orang lain selama di perjalanan. “Masa ?”, kata si ibu sambil keheranan. “Kalau gitu nanti ikut aja di bak belakang mobil sampai Bogor. Lagian juga ngapain ke Sukabumi cuma bertiga, emang kemana sih ibu dan bapaknya ?”, tanya si ibu. “Ini kita lagi mau ke makam mereka bu”, kata Dina. Si ibu keheranan juga mendengarnya, tapi tidak lama. Dia kemudian melanjutkan perjalanan ke arah pasar sambil berkata, “Kalau barang belanjaannya tidak banyak dan masih muat kamu bisa naik di belakang. Siapa tau masih muat”.
Fikri senang juga, berarti mereka bisa naik mobil meskipun cuma sampai Bogor. Bogor, namanya seperti pernah mereka dengar. Tapi paling tidak adik-adiknya tidak harus berjalan kaki ke sana. Fikri pun sebenarnya merasa sudah sangat lelah, ditambah lagi kaki kanannya yang dulu pernah terluka saat kecelakaan di sepeda motor bersama abi dan umminya.

“Alhamdulillah, kita bisa naik mobil Wik”, kata Dina kepada kakaknya. “Lumayan, nanti kita bisa tidur di mobil”. Jundi sudah tertidur dari tadi di bangku halte yang kecil, dijaga Dina agar tidak jatuh.
Sudah 1 jam mereka menunggu, sepertinya Fikri sudah ingin tidur saja di trotoar. Hanya Fikri yang masih memaksa membuka matanya menunggu ibu pemilik mobil. Tidak lama terdengar suara orang bercakap-cakap sambil memikul barang bawaan yang besar di pundaknya. Rupanya 2 orang buruh pasar yang mengangkut barang belanjaan milik si ibu pemilik mobil. Mereka menaruhnya di bak belakang mobil dengan membantingnya. “Bruaak !”, seketika Njun dan Dina terbangun kaget.

Hanya tersisa ruang sedikit saja di bak belakang mobil, Fikri agak ragu juga. Si ibu datang bersama sopir, “Ayo, jadi ikut gak ? Kalau jadi, cepet naik di belakang” kata si ibu sambil cepat-cepat naik ke mobil. Fikri tidak berpikir panjang lagi, dilihatnya adik-adiknya sudah sangat mengantuk dan lelah. Belum lagi dirinya yang belum tidur sama sekali. Dia pun menaikkan Jundi terlebih dahulu, baru kemudian Dina. Terakhir Fikri naik di belakang. Sempit sekali rasanya di belakang, tak lama si sopir datang menutup pintu bak belakang. Rasanya tambah sempit saja, tapi mau bagaimana lagi ? Yang penting jangan sampai mereka jatuh, kalau jatuh Fikri tidak sanggup membayangkannya bagaimana nantinya mereka bertiga akan terpisah di jalan.

Sudah setengah jam mobil jalan, mereka bertigapun tertidur sambil melipat kaki karena sempit. Fikri mulai terbangun, saat gerimis hujan mengenai pipinya. Dia menengadah ke langit, sambil berkata “Ya 4JJI, hujan .... ”. Tidak sampai 1 menit, hujan deras turun tiba-tiba. Mereka semua bangun, dan tampak panik. Fikri langsung memeluk Jundi, yang sudah basah kuyup. Fikri tidak tahan lagi, dengan dihalangi kerasnya suara hujan dan air di wajahnya dia mulai menangis. Dia menangis tapi tidak bersuara. Tenggorokannya terasa tercekat, dilihatnya Dina sedang menutupi kepala Jundi dengan buntut jilbab kecil yang dikenakannya. Fikri pun memeluk kedua adiknya itu sambil sesenggukan menahan tangis.

Sudah 1 jam mereka bertiga di bak belakang mobil, selama 30 menit penuh kehujanan. Tak lama mobil pun menepi, di dekat lampu merah pertigaan ke arah parung. Si supir turun sambil menutup kepalanya dengan jaket. “Kita mau belok ke arah parung, kalau mau ke Sukabumi harus lurus. Turun aja di sini, nanti terusin aja numpang mobil trek”, kata supir kepada mereka. Fikri pun turun terlebih dulu, baru adik-adiknya dengan dibantu supir. Mereka bertiga masih berdiri bingung di tepi jalan, saat mobil tadi sudah kembali melaju kencang ke arah parung.

Fikri mengajak adik-adiknya menepi. Saat ini sudah jam 2 malam, dia bingung mau berteduh di mana dengan baju basah kuyup seperti ini. Kebetulan dekat pertigaan itu Fikri melihat ada pos polisi yang sudah kosong. Fikri membawa adik-adiknya ke situ, dan mereka bertiga duduk di bangku dalam ruangan terbuka di pos polisi tersebut. Baju basah kuyup, hujan pun belum reda.

Fikri tidak tega melihat adik-adiknya yang gemetar menahan dingin, apalagi angin yang bertiup juga kencang. Fikri merogoh kantongnya, memegang sisa uang yang dimilikinya. Dia ragu bisa berbuat apa dengan uangnya itu. Selagi berpikir, datang seorang ibu-ibu paruh baya naik sepeda mini tua. Ibu itu ikut berteduh, dan melepaskan plastik yang digunakannya menutupi kepalanya. “Lho, mau ke mana malam-malam begini ? Kehujanan lagi ...”, tanya si ibu. Fikri ingin menjawab, tapi giginya sedang bergemeletuk menahan dingin. “Mau ke mana dek ?”, tanya si ibu lagi dengan logat khas jawa. “Mau ke Sukabumi bu ....”, jelas Fikri singkat. “Masih jauh itu dek, kamu mau ke sana naik apa hujan-hujan begini ? Itu baju-baju kamu aja basah kuyup begitu”, sepertinya si ibu iba juga melihat mereka bertiga. “Ibu mau ke pasar, nanti balik lagi. Mendingan kamu ikut ke rumah ibu aja dulu, biar kering bajunya dan istirahat”.

Fikri hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata. Sekitar 15 menit mereka berteduh, si ibu yang bernama Yati itu kembali mengenakan plastik di kepalanya. “Kalau ditungguin terus, gak bakal selesai-selesai nih hujan. Biar ibu jalan aja dulu ya”, si ibu bergumam yang ditujukannya kepada Fikri. Bu yati kembali mengendarai sepeda mini tuanya, menembus hujan diiringi pandangan kosong Fikri.

Dahulu sekali, sekitar 15 tahun silam ketika ibu Yati datang merantau ke Kota Bogor. Ibu Yati pergi bersama suaminya yang berumur selisih 10 tahun dengannya. Mereka berdua datang dengan menumpang bis, menuju rumah teman mereka di Bogor yang katanya sudah sukses dan memiliki usaha transportasi di kota Bogor. Dengan harapan yang tinggi, mereka berdua nekat berangkat dengan bekal seadanya dari kampung. Tak disangka, ternyata teman ibu Yati yang bernama mas Joko Susilo itu sangat di luar dugaan. Berbagai cerita yang pernah disampaikannya waktu di kampung, seperti bualan belaka jika tidak disebut mimpi. Usaha transportasi yang dimaksud tidak lebih dari ojek payung di terminal bis Baranang Siang Bogor.

Nasi sudah menjadi bubur. Merasa kecewa terlanjur sudah mereka menaruh harapan kepada mas Joko Susilo. Mereka berdua pun mengontrak rumah bilik kecil di pinggiran kali. Memang, tanpa diketahui suaminya ibu Yati masih memiliki simpanan uang 1 juta rupiah. Berbekal uang itu mereka mengontrak rumah bilik tersebut.

Sudah hampir 15 tahun, mulai dari jadi pembantu, tukang cuci, sampai menjadi pemulung mereka lakukan berdua. Acap kali mereka tidak menemukan makanan tersedia bagi mereka dalam 1 hari. kalau bisa makan 1 kali 1 hari saja mereka sudah senang. Bilik kecil yang mereka tempati kini sudah ditempati orang lain. Tidak tahu juga cerita yang dibawa orang baru ini, apakah masih selalu sama tentang mimpi orang desa hidup berhasil di kota. Ibu Yati bertemu seorang janda pengusaha ternak ayam. Sudah hampir 1 tahun ini ibu Yati beserta suaminya mengelola peternakan milik ibu Wati.

Peternakan itu terletak di kampung yang agak jauh juga jaraknya, karyawannya sekitar 10 orang dengan mereka berdua. Ayam ternak yang dihasilkan, tidak lagi mereka antar ke pasar. Karena sudah terkenal, banyak orang dari pasar yang datang sendiri membelinya. Ibu Wati sendiri jarang terlihat di peternakan. Ia tinggal di rumah tertutup di atas bukit. Orang-orang tidak tahu bagaimana keadaan rumah yang ditempati ibu Wati. Yang jelas, setiap malam Jum’at rumah itu nampak lebih mencekam dari yang biasanya.

Ibu Yati sudah kembali dari pasar dengan membawa sekarung barang bawaan, yang diikat di bangku belakang sepedanya. Ibu Yati ternyata tidak lupa kepada tiga anak itu, karenanya ibu Yati menghampiri mereka kembali yang masih berteduh kedinginan di dalam Pos polisi. “Ayo dek, ajak adik-adik kamu itu ke rumah ibu. Kamu ikuti saja sepeda ibu, nanti ibu akan jalan pelan-pelan saja”, kata bu Yati kepada Fikri.

Dina dan Jundi memang sudah bangun, karena waktu ibu Yati di seberang jalan Fikri sudah melihatnya. Fikri langsung membangunkan adik-adiknya agar bisa ikut ke rumah ibu Yati. Fikri khawatir ibu Yati lupa, makanya Fikri selalu mengamati jalan raya.

Kantong plastik berisi koran sudah dibuang Dina dari tadi, atau tepatnya hilang terbawa angin saat mereka menumpang di bak mobil tadi. Dina membantu Fikri menaikkan Jundi di punggung belakang Fikri. Rupanya Fikri menggendong Jundi. Saat itu Jundi sudah bangun, namun karena rasa sayangnya Fikri memilih menggendong Jundi. Bagaimanapun ada rasa penyesalan dan bersalah pada dirinya, yang telah mengajak adik-adiknya berjalan sejauh itu. Tetapi seandainya mereka tetap berada di rumah kardus dalam kondisi hujan seperti tadi, tetap saja rumah kardus mereka akan hancur terkena air hujan yang deras.

Rumah ibu Yati berjarak 1 km menanjak ke arah bukit, jalannya berbatu besar-besar. Jalan yang licin terkena hujan dan gelap gulita, menyulitkan mereka semua. namun ibu Yati sepertinya sudah terbiasa, dia tetap mengendarai sepedanya tanpa berhenti. Sementara Fikri sudah merasa kelelahan, Dina membantunya dengan menahan Jundi dari belakang. Tidak lama Jundi berkata, “Njun pegel Wik digendong terus, Njun mau jalan kaki sendiri aja.” Jundi memang pintar dalam berkata, seolah-olah memang keinginan dia berjalan kaki. Padahal dia merasa tidak tega dan kasihan melihat kakaknya kelelahan menggendongnya sedari bawah tadi.

Fikri pun langsung menurunkan Jundi tanpa berkata apa-apa. Hanya saja dia berpesan, “Jalannya hati-hati banyak batunya tajem-tajem dan licin kena hujan, pegangan yang kenceng ke mas Fikri atau mbak Dina. Mana jalannya gelap banget”. Sekitar setengah mereka berjalan, mulai kelihatan cahaya kuning lampu gantung yang bergoyang-goyang tertiup angin. Rumah yang mereka tuju tidak besar, terbuat dari separuh tembok dan sisanya sampai atas campuran kayu dan triplek. Ada beberapa rumah di sana, berjarak sekitar 50 meteran. Semua rumah itu gelap, kecuali 1 rumah saja. Ketika jarak sudah sekitar 100 meter, kelihatan seorang lelaki sudah agak tua sedang berdiri sambil memegang payung di halaman rumah .....



Break dulu ye, peugeul ... ^_^

0 comments:

Date & Time

.

Followers

About me ...

Foto saya
hanya ingin akhir yang baik ....

Sing a song